Ini adalah tentang
perjalanan dan pengalaman saya kali pertama yang begitu mengasikkan. Minggu
pagi ku packing barang bawaan dari pukul 5-6 pagi. Pukul 8.00 ku tinggalkan
rumah dan mampir sejenak di sekolah tercinta R-SMA-BI 2 Lumajang tuk mengambil
tenda.
Pukul 9.15 saya sampai di kediaman om Priyo, beliau adalah pembina sekaligus pendamping tuk terjun dalam perjalanan sengit ini. Pukul 10.30, semua peserta terkumpul sebanyak 10 personel. Pukul 11.00, barulah kami berangkat tuk menantang nyawa dalam perjalanan sengit tersebut. Dengan bensin yang cukup memadai, ku ucapkan Bismillah menandai siap tuk berpetualangan ria.
Desa Ranupane, terletak sebelah barat dari Pusat Kabupaten Lumajang. Tepatnya di Kecamatan Senduro. Awalnya, jalan kami lewati sangatlah mudah. Namun, setelah menempuh 3 km dari Kecamatan Senduro jalanpun berubah drastis bak sirkuit balapan cross. Namun, semua itu kami lewati dengan penuh semangat dan kegembiraan. Karena kami kesana bukanlah tuk bersenang tapi tuk membersihkan alam yang mulai ternodai oleh kimia. Setelah menempuh kurang lebih 2 km jalanan yang berbatu, kami mulai merasakan hawa dingin yang merasuk tubuh.
Kami sempat melewati hutan yang lumayan lebat. Ini adalah pengalamanku di hutan tuk pertama kali. Dengan suhu kira-kira 19° C, sayapun sedikit kedinginan dalam mengendarai sepeda motor tersayang. Dalam hutan yang sunyi, kami pun mulai merasakan udara yang lebih dingin dari sebelumnya. Layaknya dalam serial tv Panji Sang Petualang, banyak pepohonan besar yang melihat kami dalam menaklukan medan jalan yang begitu kejam. Banyak jalanan yang mulai berlobang terkikis oleh zaman.
Meskipun begitu, kami lakukan dengan senang hati dan penuh semangat walaupun sempat motor teman saya berhenti mendadak akibat tersiksa jalanan yang selalu menanjak, wajarlah pegunungan. Begitu juga dengan motor saya yang mengalami hal serupa. Tak jarang juga kami berpapasan dengan orang-orang yang telah kembali dari desa tersebut. Dalam melewati hutan yang masih alami itu, sekali-kali terdengar suara binatang yang selalu ada dalam hutan lebat seperti itu, suaranya mirip dengan suara jangkrik. Namun aku sebut dengan nama Ares.
Setelah menyusuri perjalanan selama kurang lebih 2 setengah jam, kami sampai di batu tulisan(kata teman) menandakan perjalanan tak lama lagi usai. Memang benar, kurang lebih 5-10 menit kami sampai di ujung desa. Kami disambut dengan pemandangan pegunungan dan perbukitan nan indah dan menawan. Dihiasi dengan perkebunan yang menempel pada bukit.
Saya pun berhenti di pos 0 tuk beristirahat, berfoto ria, sholat, serta menunggu teman yang masih tertinggal di belakang. Dari sinilah Danau Ranupane terlihat tak begitu indah akibat tertutup oleh tumbuhan liar yang tak tau diri dan tak tau malu.
Pukul 9.15 saya sampai di kediaman om Priyo, beliau adalah pembina sekaligus pendamping tuk terjun dalam perjalanan sengit ini. Pukul 10.30, semua peserta terkumpul sebanyak 10 personel. Pukul 11.00, barulah kami berangkat tuk menantang nyawa dalam perjalanan sengit tersebut. Dengan bensin yang cukup memadai, ku ucapkan Bismillah menandai siap tuk berpetualangan ria.
Desa Ranupane, terletak sebelah barat dari Pusat Kabupaten Lumajang. Tepatnya di Kecamatan Senduro. Awalnya, jalan kami lewati sangatlah mudah. Namun, setelah menempuh 3 km dari Kecamatan Senduro jalanpun berubah drastis bak sirkuit balapan cross. Namun, semua itu kami lewati dengan penuh semangat dan kegembiraan. Karena kami kesana bukanlah tuk bersenang tapi tuk membersihkan alam yang mulai ternodai oleh kimia. Setelah menempuh kurang lebih 2 km jalanan yang berbatu, kami mulai merasakan hawa dingin yang merasuk tubuh.
Kami sempat melewati hutan yang lumayan lebat. Ini adalah pengalamanku di hutan tuk pertama kali. Dengan suhu kira-kira 19° C, sayapun sedikit kedinginan dalam mengendarai sepeda motor tersayang. Dalam hutan yang sunyi, kami pun mulai merasakan udara yang lebih dingin dari sebelumnya. Layaknya dalam serial tv Panji Sang Petualang, banyak pepohonan besar yang melihat kami dalam menaklukan medan jalan yang begitu kejam. Banyak jalanan yang mulai berlobang terkikis oleh zaman.
Meskipun begitu, kami lakukan dengan senang hati dan penuh semangat walaupun sempat motor teman saya berhenti mendadak akibat tersiksa jalanan yang selalu menanjak, wajarlah pegunungan. Begitu juga dengan motor saya yang mengalami hal serupa. Tak jarang juga kami berpapasan dengan orang-orang yang telah kembali dari desa tersebut. Dalam melewati hutan yang masih alami itu, sekali-kali terdengar suara binatang yang selalu ada dalam hutan lebat seperti itu, suaranya mirip dengan suara jangkrik. Namun aku sebut dengan nama Ares.
Setelah menyusuri perjalanan selama kurang lebih 2 setengah jam, kami sampai di batu tulisan(kata teman) menandakan perjalanan tak lama lagi usai. Memang benar, kurang lebih 5-10 menit kami sampai di ujung desa. Kami disambut dengan pemandangan pegunungan dan perbukitan nan indah dan menawan. Dihiasi dengan perkebunan yang menempel pada bukit.
Saya pun berhenti di pos 0 tuk beristirahat, berfoto ria, sholat, serta menunggu teman yang masih tertinggal di belakang. Dari sinilah Danau Ranupane terlihat tak begitu indah akibat tertutup oleh tumbuhan liar yang tak tau diri dan tak tau malu.
Waktu telah memanggil kami, dan kamipun segera turun ke balai desa tuk menitipkan motor kami masing-masing. Setelah itu, kami pergi ke pinggir danau Pane. Di sana telah banyak para PA yang sedang bekerja membersihkan danau sejak 1 hari sebelum kami datang. Tak banyak bicara, akupun mengambil sak tuk membersihkan tumbuhan liar tersebut.
Pukul 16.16, kamipun berhenti kerjabakti. Aku bergegas pergi ke masjid mungil milik perkampungan yang dikelilingi oleh bukit-bukit cantik parasnya untuk cuci muka dan mengubah tampilan. Kemudian, aku mendekatkan diri pada Sang Maha Kuasa. Sedangkan, teman-teman masih sibuk dengan bahan-bahan yang akan dimasak. Daripada menunggu lama, akupun mengeluarkan sekotak nasi lengkap dengan lauk pauk. Dan seketika, aku diserbu teman yang mempergokiku makan.
Tak lebih dari 5 menit, kotak makananku habis tak bersisa. Pukul 17.10 kami bahu-membahu tuk menyiapkan makan malam dengan peralatan sederhana. Dan aku memilih tuk mendirikan tenda. Tak mudah bagi saya dalam mendirikan tenda megah itu. Hampir 1 jam saya dibantu teman saya untuk mendirikan tenda tersebut.
Malam pun datang, tak senja lagi di langit. Bukit-bukitpun bersiap untuk bermimpi indah. Sedangkan aku, terguyur keringat akibat mendirikan tenda. Pukul 18.10 aku kembali mengabdi pada-Nya. 30 menit kemudian, makanan pun siap disajikan, kami berkumpul di dalam tenda megah tersebut. Makanan tak begitu istimewa, namun bagi kami itu adalah makanan ternikmat bagi kami. Dimakan bersama-sama bak satu keluarga.
Pukul 20.30 kami pun terseret oleh mimpi yang tak sempurna, bagaimana tak sempurna bila angin selalu menggoda kami dalam tidur. Tenda yang awalnya megah bergoyang-goyang tak beraturan, ditemani udara dingin yang menusuk pori-pori kulit namun aku tak peduli. Aku teruskan mimpiku sendiri.
Mentari mulai terbangun dari tidur, muncul dari balik bukit-bukit yang juga terbangun dari mimpi indahnya. Begitu dingin udara sekitar, membuatku tak kuasa tuk keluar dari tenda. Namun ku bertekad keluar dan bertarung dengan angin-angin yang siap menusukku dari arah manapun. Aku segera memperbaiki tenda yang telah sedikit rapuh tertiup angin malam. Dan aku segera mencuci muka, tak disangka air disana tak bersahabat denganku. Mereka pun memberikan tusukan dingin melebihi angin malam. Begitu mengigilnya aku pada saat itu.
Pukul 06.00, kami menyiapkan peralatan untuk memasak. Walaupun masih terdapat noda bekas makanan kemarin, tapi tidaklah masalah. Kami adalah layaknya seorang petualang sejati. Sambil menunggu makanan masak, kami membantu kembali memungut tumbuhan liar tersebut. Masih 1/4 danau yang bebas dari tumbuhan liar. Dalam benakku apakah ini terselesaikan dalam waktu 3 hari padahal hari ini (23/1) adalah hari terakhir pembersihan ranupane. Entahlah...
Pekerjaan ini memang melelahkan, oleh karena itu aku kabur menyelinap ke atas bukit terindah yang pernah kulihat. Di atas sana, terlihat bukit-bukit indah lainnya dengan berselimut kabut karena masih pagi. Ingat! hari masih pagi dan udara masih dingin. Pemandangan yang menawan cocok tuk berfoto ria dan akan membuat kecanduan penikmatnya. Yeah, seperti aku ini, ingin sekali pergi ke sana tuk kedua kali.
Pukul 08.30 kami turun tuk sarapan, dengan menu paling istimewa dari kemarin, aku lahap menu sarapan itu. Begitu nikmatnya makanan itu bagiku karena aku bagaikan pujangga tak makan 1 minggu. Setelah semua hidangan habis, peralatan di cuci dan waktunya packing for go home. Kegiatan ini memakan waktu 1,5 jam. Tenda yang besar itu cukup sulit bagi aku tuk melipatnya kembali seperti sebelum didirikan. Namun dengan kegotongroyongan prajurit HOSCOK, akupun bisa.
Pukul 11.00 kami siap tuk petualangan berikutnya. Eits, sebelum itu kami berfoto bersama dengan Gapala (Gabungan Pencinta Alam Lumajang). Setelah itu kami bersalaman dan pamit tuk melanjutkan perjalanan. Kali ini kami akan menuju Bukit Teletubbies. Yeah, itulah kata orang-orang sekitar. Rutenya pun sedikit membuat aku mual tuk mengemudikan motorku, dengan jalan berkelok-kelok dan naik turun. Namun semua itu dibayar dengan pemandangan paling menakjubkan yang pernah aku lihat seumur hidup. Yeah, pemandangan Bukit Teletubbies memang sangat-sangat indah-cantik-dan menakjubkan.
Takkan ku lewatkan kesempatan ini tuk berdiam diri. Semua teman-teman langsung berpose layaknya model-model terkemuka. Haha, itulah sebuah spontanitas terhadap pemandangan menakjubkan, tak kusangka, kota tercintaku-Lumajang mempunyai objek wisata cantik yang tersembunyikan. Tak semua orang dapat kesana karena memang medan yang sangat berat, melalui hutan-pegunungan-lembah. Namun, dijamin takkan menyesal karena dibayar dengan pemandangan yang sangat-sangat menggiurkan.
Tak terasa 1 jam aku ada disana melihat dan mengabadikan diri di Bukit Teletubbies dimana berbatasan langsung dengan Gunung Bromo. Terlihat padang rerumputan yang luas di bawah dengan dikelilingi pegunungan hijau nan asri. Membuat mata terasa segar dan membersihkan semua masalah di benak pikiran. Kami harus meninggalkan pesona cantiknya di sana. Selamat tinggal, semoga kita kan bertemu kembali suatu saat nanti. Kan kuperkenalkan kau dengan orang-orang penghuni Kota Pisang ini.
Dan aku dengan berat hati menancapkan gas tuk segera pulang. Diperjalanan hati masih tak rela tuk meninggalkan pesona cantikmu. Namun, memang ini saatnya untuk pulang dan melakukan kegiatan sehari-hari. Melewati hutan lebat nan sunyi, aku pun sangat bangga dapat pergi ke tempat seperti itu. Yeah, tak semua orang dapat kesempatan seperti ini.
Selamat tinggal Desa Ranupane, semoga kau tetap menjaga semua paras cantikmu beserta keindahan alammu. Aku berharap tuk bisa kembali kesana. Good Bye. :')
The End
By: Khafidz Hidayatulloh